- Pemkot Tangerang Gerak Cepat Tangani Banjir di Periuk dengan Lakukan Perbaikan Tanggul
- Komitmen Dukung Pilkada 2024, Pemkot Tangerang Himbau Paslon dan Tim Turunkan APK Jelang Tahap Masa Tenang
- Program On The Job Training, Dr Nurdin : Buka Peluang bagi Perusahaan Guna Melatih Pencari Kerja
- Tinjau TPA Rawa Kucing, Dr. Nurdin: TPA Rawa Kucing Kini Lebih Rapi
- Sediakan Paket Menu MBG, SMKN 3 Kota Tangerang Diapresiasi Pj Wali Kota Hingga Wapres
- Perkuat Layanan di MPP, Pj Wali Kota Tangerang Teken Perpanjangan MoU dengan Mitra Layanan Publik
- Peringati Hari Anak Sedunia, Pemkot Tangerang Nonton Bioskop Bareng Anak Disabilitas
- PJ Walikota Tangerang Bareng Kapolres Metro Tanam Jagung, Ini ungkap Dr. Nurdin
- Optimalkan Pengendalian Stabilitas Inflasi, Pemkot Tangerang Gelar High Level Meeting TPID
- DPR Dukung Penuh Gerakan Bapanas Terkait Penganekaragaman Pangan
Asyiknya Mengeksplorasi Keindahan Pulau Tidung
EMPO Interaktif, Jakarta – Sungguh mengasyikkan pengalaman pertama
mengunjungi gugusan Kepulauan Seribu, di tengah cuaca kurang bersahabat,
persis pada hari pertama tahun baru lalu. Bersama empat teman, saya
menjelajahi sebuah pulau di Kepulauan Seribu, yang sempat dijuluki
Maladewa-nya Indonesia. Namanya Pulau Tidung. Ia terdiri atas dua pulau,
yaitu Pulau Tidung Kecil dan Pulau Tidung Besar. Sampai saat ini Pulau
Tidung Kecil tak berpenghuni. Adapun Pulau Tidung Besar dihuni sekitar
4.000 jiwa penduduk, dan salah satu pulau yang penduduknya terbanyak di
antara pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu.
Pulau Tidung bisa
dicapai dengan menumpang “Feri”–julukan warga setempat untuk sebuah
kapal kayu berbahan bakar solar yang panjangnya 55 meter dan lebar 3
meter. Jadwal pemberangkatan kapal dengan daya angkut sekitar 100 orang
itu pada pukul 07.15 dari dermaga Muara Angke, Jakarta Utara, dengan
ongkos Rp 33 ribu per orang. Karena itu, agar tak ketinggalan kapal,
saat subuh kami sudah meluncur ke Muara Angke dengan taksi. Cuma, kami
sempat muter-muter mencari jalan masuk ke pelabuhan karena tak ada
petunjuk yang jelas.
Hari masih begitu pagi, tapi matahari sudah
sedikit demi sedikit merangkak naik. Namun kami bersyukur bisa
menyaksikan sunrise pertama di tahun baru. Kami melangkahkan kaki menuju
kerumunan para penumpang yang akan menuju pulau-pulau di Kepulauan
Seribu. Kulihat mereka berpencar mencari kapal yang akan membawa ke
pulau tujuan. Beberapa penumpang menuju kapal yang akan bertolak ke
Pulau Pramuka, Pulau Untung Jawa, dan ada pula yang setujuan dengan
kami, Pulau Tidung.
Kapal yang kami cari ternyata nyempil di
sebelah kapal yang lumayan besar dengan tujuan Pulau Pramuka. Sesampai
di kapal, para penumpang mengambil posisi masing-masing. Kami sengaja
mengambil tempat di geladak kapal, tanpa pengaman apa pun, agar leluasa
melihat pemandangan. Sang kapten kapal berkali-kali meminta beberapa
penumpang supaya berada di dalam dengan alasan keselamatan.
“Kalau
cuaca baik, bisa ditempuh dua jam, kok,” kata kapten sebelum kapal
berangkat. Beberapa menit kemudian, kapal mulai merangkak perlahan
menjauh dari dermaga Muara Angke. Awalnya perjalanan masih menyenangkan.
Namun, ketika melewati Pulau Untung Jawa, Onrust, dan Pulau Bidadari,
tiba-tiba “drettttttt brettt…“, kapal seolah melompat tinggi. Ternyata
ombak sedikit meninggi, suasana pun tidak senyaman tadi.
Setelah
kejadian serupa berulang-ulang, tiba-tiba kapal berputar arah melewati
Pulau Rambut. Sang awak kapal mengatakan, “Kita harus menghindar dulu
karena di ujung sana tidak terlihat matahari. Pulau Tidung ditutupi
kabut, mungkin juga badai.” Uhh….
Kapal lain yang menuju Pulau
Pramuka, di belakang kami, melakukan hal yang sama. Lebih-kurang 30
menit kapal kami berhenti di atas laut yang tenang di dekat Pulau
Rambut. Kapten naik ke geladak. “Kalau ada yang mau ke Untung Jawa,
boleh deh saya mampirin,” kata sang kapten, dengan gaya agak kocak.
“Tapi saya dibayarin Pop Mie, ya.”
Saya dan teman-teman bersedia
jika penumpang lain juga mau mampir. Tapi mereka sibuk dengan kegiatan
masing-masing, dengan gurat kekhawatiran di wajah mereka. Merasa
tawarannya tidak mendapat respons, sang kapten kembali ke ruangannya dan
menjalankan tugasnya kembali.
Demi mengikuti peringatan si
kapten, yang berkali-kali memberikan warning, kami meninggalkan geladak
untuk bergabung dengan penumpang lain di dalam kapal. Belum sampai 30
menit, lagi-lagi kapal diterjang ombak, dan itu terus terjadi hingga
kapal mendarat di dermaga Pulau Tidung empat setengah jam kemudian. Saya
pun mabuk–kejadian pertama selama melakukan perjalanan dengan moda
transportasi darat, laut, dan udara. Sungguh perjalanan yang rasanya
tidak ingin saya ulang lagi.
Sesampainya di dermaga Pulau Tidung,
abang-abang tukang becak menawarkan jasa mengantarkan ke penginapan.
Tapi kami memilih berjalan kaki menuju Losmen Pak Haji. Seraya
melangkahkan kaki, saya memperhatikan sekeliling: rumah-rumah sederhana
para penduduk, pohon pisang di kanan-kiri jalan, cemara hijau, jalanan
setapak dengan paving block yang nyaman, senyum ramah para penduduk.
Sesekali saya harus berhenti dan sedikit menyingkir guna memberikan
ruang bagi pengendara sepeda yang tengah menyusuri pulau ini. Kami jadi
kepingin juga bersepeda ria berkeliling pulau.
Setelah berjalan
sekitar 200 meter, kami tiba di losmen yang kami pesan dari Jakarta.
Kami menyewa sebuah rumah dengan satu kamar tidur, dua tempat tidur
double bed. Rumah ini memiliki tiga ruangan, dengan fasilitas kulkas,
televisi , kamar mandi, serta air minum gratis. Berlima kami dikenai
biaya Rp 250 ribu per malam.
Jika tidak ingin menginap di losmen
yang lumayan mahal, pengunjung bisa mendapatkan penginapan alternatif,
yakni tinggal di rumah-rumah penduduk dengan biaya Rp 75-100 ribu per
malam.
Beristirahat sebentar, makanan pun datang, dengan porsi
untuk 13 orang, yang terdiri atas cumi balado, ikan goreng, sayuran, dan
nasi, yang mesti kami bayar Rp 15 ribu sekali makan. Setelah makan,
saya sempatkan tidur untuk melepaskan kepenatan selama perjalanan di
atas kapal, sambil menunggu teman-teman salat Jumat.
Beberapa
saat kemudian, pesanan datang: alat snorkeling dan sepeda sudah siap di
depan losmen. Kegiatan yang harus asyik dilakukan di Pulau Tidung adalah
bersepeda, menyusuri pantai dari Tidung Besar ke Tidung Kecil, dan
tentunya menikmati pemandangan bawah laut dengan snorkeling dan
berenang.
Untuk sewa sepeda, kita cukup mengeluarkan kocek Rp 10
ribu. Adapun biaya perlengkapan snorkeling lengkap Rp 35 ribu.
Pengunjung juga bisa menyewa lifevest atau alat snorkeling saja.
Tibalah
saatnya untuk mengeksplorasi pulau yang sempat disebut-sebut sebagai
Maladewa-nya Indonesia ini. Pulau Tidung memang mirip Maladewa, pulau di
Lautan Hindia, 435 mil barat daya Sri Lanka. Sampai kedalaman 50 meter,
lautnya masih dangkal. Laut hijau kebiruan, air jernih, beratapkan
langit biru cerah.
Kring… kring… kring…. gowes… gowes. Saya
sempat menertawakan diri sendiri yang berkali-kali terpeleset akibat
lupa cara mengendarai sepeda. Untung akhirnya bisa juga. Saya jadi
teringat kenangan masa kecil ketika bersepeda.
Bersepeda di Pulau
Tidung, kita harus berhati-hati karena sepeda-sepeda yang ditawarkan
tergolong tua. Bahkan ada yang tidak memiliki rem sama sekali. Sadel
beberapa sepeda pun sudah tidak nyaman untuk diduduki.
Walau
demikian, saya benar-benar menikmati bersepeda keliling pulau melewati
rumah-rumah penduduk, sesekali bertukar senyum dengan mereka, menikmati
semilir angin dan deru ombak. Dari kejauhan, saya menatap keindahan
ciptaan Tuhan: hamparan laut biru kehijauan yang luas, berpadu padan
dengan langit biru cerah dan pepohonan rindang di kiri-kanan jalan.
Saya
terus mengayuh sepeda menuju sebuah pulau tanpa penghuni nan eksotik,
yaitu Pulau Tidung Kecil. Nah, Pulau Tidung Kecil terkenal dengan pasir
putihnya. Di sini juga merupakan spot menarik untuk melakukan
snorkeling.
Untuk mencapai Tidung Kecil, dari Pulau Tidung Besar,
kita harus melewati jembatan yang panjangnya lebih-kurang 2 kilometer.
Adakalanya sepeda pun mesti kita jinjing. Bersepeda di atas jembatan
yang lebarnya mungkin hanya 1,5 meter ini bisa menjadi sebuah pengalaman
tak terlupakan. Ada dua pilihan: tetap mengayuh sepeda dengan perasaan
deg-degan karena ada beberapa bagian dari jembatan yang bolong tanpa
pengaman atau berjalan berjejer sambil mendorong sepeda. Kalau bersama
pasangan, pasti sangat romantis. Sambil berjalan atau mengayuh sepeda,
kita tidak akan pernah luput dari pemandangan bawah laut yang terdapat
di kanan-kiri jembatan. Laut luas dengan guratan biru transparan,
terumbu karang yang indah, sesekali kita bisa melihat ikan-ikan
berenang, sungguh terpesona ketika menatap jauh kedalaman laut nan biru.
Sesampai
di Pulau Tidung Kecil, kami sempat menikmati pemandangan bawah laut,
melakukan snorkeling, dan berenang. Berkali-kali kami mencoba untuk
tidak menyentuh terumbu karang nan indah, apa daya terkadang tak mampu
menahan gejolak tangan yang gatal.
Satu hal yang tidak boleh
dilupakan adalah menikmati matahari senja di Pulau Tidung. Semua itu
kami dapatkan setelah selesai melakukan snorkeling. Cuaca memang agak
sedikit tidak bersahabat. Angin bertiup, namun tidak memupuskan sang
surya berganti warna menuju kuning keemasan dan perlahan digantikan
gelap yang menyelimuti langit Tidung Kecil dan Tidung Besar. Kami pun
harus kembali ke penginapan dengan mengayuh sepeda.
Malam semakin
larut. Kesunyian menyelimuti Pulau Tidung Besar. Berbaur dengan
penduduk, saya sempat mendengar perbincangan mereka yang resah akan
hasil tangkapan ikan. Sementara itu, di sudut lain, saya menyaksikan
penduduk yang masih terus bekerja membuat sebuah kapal walaupun hari
sudah larut. Sebuah gambaran perjuangan hidup di sebuah pulau cantik
yang penuh potensi namun belum banyak terekspos.
Keesokan
harinya, kami harus kembali ke Jakarta. Kekhawatiran akan cuaca buruk
pupus tatkala melihat matahari pagi yang sangat indah di ufuk timur
dengan warna merah keemasan yang dipantulkan seolah berkata bahwa esok
hari cuaca akan sangat bersahabat.
Egita Pauline, Penikmat Perjalanan, Tinggal di Jakarta